kebersamaan
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan diriku berlutut di
depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri
uang itu?” Beliau bertanya.Aku terpaku,
terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia
mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.Tiba-tiba,
adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!
“Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus
mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas
ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? …
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu! “Malam itu, ibu
dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi
ia tidak menitikkan air mata setetes pun.Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.Adikku
menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi.”Aku masih selalu membenci diriku karena tidak
memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan
lupa tampang adikku ketika ia melindungiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar